Penyimpangan Terhadap Asmaul Husna
16.57.00
Pendahuluan
Pembahasan tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala memiliki kedudukan yang agung dan tinggi dalam Islam, bahkan merupakan salah satu tonggak utama dan landasan iman kepada Allah Ta’ala . Dan seorang hamba tidak mungkin dapat menunaikan ibadah yang sempurna kepada Allah Azza wa jalla sampai dia benar-benar memahami pembahasan ini dengan baik
Oleh karena itu, penyimpangan dalam memahami masalah ini akibatnya sangatlah fatal, karena kerusakan pada landasan iman ini akan mengakibatkan rusaknya semua bangunan agama seorang hamba yang didirikan di atasnya.
Sebagai contoh bagaiman memahami makna Al-Waduud silahkan Baca selengkapnya penjelasan tentang Asmaul Husna Al-Wadud Disini dan Makna Al-Hamiid Disini
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menggambarkan hal ini dalam ucapan beliau: “Barangsiapa yang ingin meninggikan bangunannya maka hendaknya dia manguatkan dan mengokohkan pondasinya, serta bersungguh-sungguh memperhatikannya. Karena sesungguhnya ketinggian bangunan sesuai dengan kadar kekuatan dan kekokohan pondasinya. Maka amal perbuatan dan (tinggi-rendahnya) derajat (dalam Islam) adalah bangunan yang pondasinya adalah keimanan, semakin kuat pondasi tersebut maka dia akan (mampu) menopang bangunan yang berdiri di atasnya, kalaupun (terjadi) sedikit kerusakan pada bangunan maka (akan) mudah diperbaiki. (Adapun) jika pondasinya tidak kuat, maka bangunan tidak akan (bisa) ditegakkan (di atasnya) serta tidak kokoh, dan jika (terjadi) sedikit (saja) kerusakan pada pondasi tersebut maka bangunan akan roboh atau (minimal) hampir roboh.
Orang yang mengenal (Allah Ta’ala dan agama-Nya) perhatian (utama)nya (tertuju pada upaya) perbaikan dan penguatan pondasi (imannya), sedangkan orang yang jahil (tidak paham agama) akan (berusaha) meninggikan bangunan tanpa (memperhatikan perbaikan) pondasi, sehingga tidak lama kemudian bangunan tersebut akan roboh. Allah Ta’ala berfirman:
Orang yang mengenal (Allah Ta’ala dan agama-Nya) perhatian (utama)nya (tertuju pada upaya) perbaikan dan penguatan pondasi (imannya), sedangkan orang yang jahil (tidak paham agama) akan (berusaha) meninggikan bangunan tanpa (memperhatikan perbaikan) pondasi, sehingga tidak lama kemudian bangunan tersebut akan roboh. Allah Ta’ala berfirman:
أَفَمَنۡ أَسَّسَ بُنۡيَٰنَهُۥ عَلَىٰ تَقۡوَىٰ مِنَ ٱللَّهِ وَرِضۡوَٰنٍ خَيۡرٌ أَم مَّنۡ أَسَّسَ بُنۡيَٰنَهُۥ عَلَىٰ شَفَا جُرُفٍ هَارٖ فَٱنۡهَارَ بِهِۦ فِي نَارِ جَهَنَّمَۗ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ
“Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan(-Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam?” (QS At Taubah:109)."
Pengertian al-Ilhad (penyimpangan) dalam memahami nama dan sifat Allah Ta’ala
Asal makna al-ilhad secara bahasa adalah menyimpang dan berpaling dari sesuatu.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Asal (makna) al-ilhad dalam bahasa Arab adalah berpaling dari tujuan, dan (berbuat) menyimpang, aniaya dan menyeleweng. Di antara (contoh penggunaannya) adalah (kata) al-lahd (liang lahad) dalam kuburan, (dinamakan demikian) karena liang lahad tersebut menyimpang dari pertengahan (lubang) kuburan ke arah kiblat”
Sedangkan pengertian al-Ilhad (penyimpangan) dalam memahami nama dan sifat Allah Azza wa jalla adalah seperti yang dipaparkan oleh imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah dalam ucapan beliau: “Hakikat al-ilhad dalam hal ini adalah menyelewengkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dari (pemahaman) yang benar, atau memasukkan ke dalam makna nama-nama dan sifat-sifat tersebut sesuatu yang bukan artinya, atau memalingkannya dari maknanya yang sebenarnya. Inilah hakikat al-ilhad (dalam masalah ini), barangsiapa yang melakukan perbuatan ini maka sungguh dia telah berdusta (besar) atas (nama) Allah”
Maka penyimpangan dalam hal ini adalah dengan menolak nama-nama dan sifat-sifat Allah, atau mengingkari kandungan maknanya, atau menyelewengkan maknanya dari (arti) yang benar dengan berbagai macam pentakwilan (memalingkan makna dalil tanpa alasan yang benar) yang rusak, atau menjadikan nama-nama-Nya untuk nama-nama makhluk.
Ancaman keras dan dosa yang sangat besar karena menyimpang dalam masalah ini
Allah Ta’ala berfirman:
وَلِلَّهِ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰ فَٱدۡعُوهُ بِهَاۖ وَذَرُواْ ٱلَّذِينَ يُلۡحِدُونَ فِيٓ أَسۡمَٰٓئِهِۦۚ سَيُجۡزَوۡنَ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
“Hanya milik Allah-lah asma-ul husna (nama-nama yang maha indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran) dalam (menyebut dan memahami) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka lakukan” (QS al-A’raaf:180).
Dalam ayat yang mulia ini Allah menyampaikan dua ancaman keras bagi orang-orang yang menyimpang dalam memahami nama-nama-Nya yang maha indah serta sifat-sifat maha sempurna yang dikandung nama-nama tersebut:
– Ancaman yang pertama: bentuk perintah dalam firman-Nya: “tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran) dalam (menyebut dan memahami) nama-nama-Nya” [8] , perintah di sini berarti ancaman keras bagi orang-orang yang melakukan perbuatan buruk ini, sebagaimana makna firman-Nya:
ذَرۡهُمۡ يَأۡكُلُواْ وَيَتَمَتَّعُواْ وَيُلۡهِهِمُ ٱلۡأَمَلُۖ فَسَوۡفَ يَعۡلَمُونَ
“Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka)” (QS al-Hijr:3)
– Ancaman yang kedua : dalam firman-Nya: “Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka lakukan”, artinya: mereka akan mendabat balasan azab dan siksaan yang pedih di dalam neraka karena penyimpangan mereka tersebut.
Karena keras dan besarnya ancaman Allah Ta’ala bagi orang yang melakukan perbuatan ini, maka kita wajib menjauhkan diri dari penyimpangan ini, serta menjauhi orang-orang yang menyimpang dalam masalah ini.
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman:
قُلۡ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلۡإِثۡمَ وَٱلۡبَغۡيَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَأَن تُشۡرِكُواْ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهِۦ سُلۡطَٰنٗا وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ
“Katakanlah:” Rabb -ku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melampaui batas tanpa alasan yang benar, (mengharamkan perbuatan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan argumentasi (dalil) untuk itu dan (mengharamkan perbuatan) berkata (atas nama) Allah dengan sesuatu yang tidak kamu ketahui (tidak dilandasi dengan pengetahuan yang benar)” (QS al-A’raaf:33).
Dalam ayat yang mulia ini Allah Ta’ala menyatakan besarnya keburukan dan dosa perbuatan berkata atas nama-Nya tanpa landasan ilmu yang bersumber dari petunjuk-Nya Azza wa jalla dan petunjuk rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam , yang ini termasuk berbicara tentang nama-nama dan sifat-Nya tanpa landasan ilmu yang benar, karena perbuatan ini merupakan kejahatan, sikap lancang dan melampaui batas terhadap hak Allah Ta’ala.
Bahkan dalam ayat ini Allah Ta’ala menjadikan kerusakan perbuatan tersebut di atas perbuatan syirik (menyekutukan Allah Ta’ala dengan makhluk), semoga Allah Ta’ala melindungi kita semua dari semua perbuatan tersebut.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “(Dalam ayat ini) Allah menyebutkan urutan perbuatan-perbuatan yang diharamkan-Nya dalam empat tingkatan, mulai dari yang paling ringan (dibandingkan tiga tingkatan berikutnya), yaitu perbuatan keji (yang nampak maupun tersembunyi), kemudian (tingkatan) ke dua yang lebih besar larangannya dari yang pertama, yaitu perbuatan dosa dan kezhaliman (aniaya), kemudian (tingkatan) ke tiga yang lebih besar larangannya dari dua tingkatan sebelumnya, yaitu menyekutukan Allah Ta’ala (dengan makhluk), kemudian (tingkatan) ke empat yang lebih besar larangannya dari semua tingkatan sebelumnya, yaitu berkata atas (nama) Allah tanpa (landasan) ilmu. Dan ini meliputi (semua bentuk) ucapan atas (nama) Allah Ta’ala tanpa (landasan) ilmu (yang benar) dalam (memahami) nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya, juga dalam (memahami) agama dan syariat-Nya."
Di tempat lain beliau berkata: “Berkata atas (nama) Allah tanpa (landasan) ilmu (yang benar) dalam (memahami) nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya, atau menyifati-Nya dengan selain sifat-sifat yang ditetapkan-Nya dan ditetapkan oleh rasul-Nya untuk diri-Nya, ini adalah (bentuk) penympangan dan penentangan terbesar terhadap hikmah Allah yang memiliki segala perintah dan penciptaan, dan (sekaligus) merupakan pelecehan terhadap sifat rububiyah (maha mengatur dan menguasai alam semesta) dan sifat-sifat yang khusus bagi-Nya. Kalau perbuatan tersebut di lakukan setelah mengetahui (besarnya keburukannya) maka itu merupakan penentangan (yang nyata terhadap-Nya), dan lebih buruk dari perbuatan syirik serta lebih besar dosanya di sisi Allah Ta’ala . Karena orang yang berbuat syirik tapi (dia) menetapkan sifat-sifat Allah lebih baik dari orang yang menolak dan menetang sifat-sifat kesempurnaan-Nya!."
Bersambung In Syaa Allah...