Asy-Syakuur (Bag. 1)
18.12.00
Pendahuluan
Bismillah Shalatan wa salaman 'ala khoiri kholkihi Ammma ba'du. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, shalawat dan salam untuk nabi terakhir yang membawa peringatan bagi seluruh umat manusia, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Juga, semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada keuarga dan para sahabatnya, serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat.
Pada kesempatan kali ini, kita akan melanjutkan pembahasan seputar makna dari nama-nama Allah yang indah lagi mulia. Kemudian kita mencoba memetik berbagai pelajaran dari nama-nama Allah tersebut.
Di antara nama-nama Allah kita pilih kali ini, yaitu nama Allah, “asy-Syakûr”. Landasannya, ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
Pada kesempatan kali ini, kita akan melanjutkan pembahasan seputar makna dari nama-nama Allah yang indah lagi mulia. Kemudian kita mencoba memetik berbagai pelajaran dari nama-nama Allah tersebut.
Di antara nama-nama Allah kita pilih kali ini, yaitu nama Allah, “asy-Syakûr”. Landasannya, ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ
"...Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. [asy-Syûra/42:23].
Makna Asy-Syakuur
Nama Allah yang mulia ini terulang dalam dalam Al-Qur’an sebanyak empat kali.
Secara etimologi, kata Asy-Syakûr, dalam bahasa Arab berarti:
Kata asy-Syakûr berbentuk mubâlghah (menunjukan kebersangatan). Maka Allah adalah Dzat Yang Maha Mensyukuri (yang memiliki kesempurnaan mutlak dalam membalas amal kebaikan). Dan bila dinisbatkan kepada manusia, maka ia adalah seseorang yang teramat sangat bersungguh-sungguh dalam mensyukuri Rabbnya dengan ketaatan, dan melakukan apa yang ditugaskan Rabb tersebut kepadanya dari berbagai bentuk ibadah. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji Nabi Nuh Alaihissallam.
Kata asy-Syakûr berbentuk mubâlghah (menunjukan kebersangatan). Maka Allah adalah Dzat Yang Maha Mensyukuri (yang memiliki kesempurnaan mutlak dalam membalas amal kebaikan). Dan bila dinisbatkan kepada manusia, maka ia adalah seseorang yang teramat sangat bersungguh-sungguh dalam mensyukuri Rabbnya dengan ketaatan, dan melakukan apa yang ditugaskan Rabb tersebut kepadanya dari berbagai bentuk ibadah. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji Nabi Nuh Alaihissallam.
إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُورًا
… Sesungguhnya dia (Nuh) adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur. [al-Isrâ`/17:3].
Dari ayat di atas, kita dapat melihat bahwa nama asy-Syakûr juga diberikan Allah kepada makhluk yang paling banyak bersyukur.[3] Lalu, bagaimanakah perbedaan di antara keduanya?
Oleh karena itu, berikut ini terlebih dahulu perlunya penjelasan untuk menjawab pertanyaan di atas. Setelah itu, penjabaran secara luas makna “asy-Syakûr” sebagai salah satu dari nama Allah yang mulia.
Perbedaan Antara Sifat Allah Dengan Sifat Makhluk Ketika Sama Dalam Penyebutan Nama
Asy-Syakûr sebagai salah satu dari nama Allah adalah Dzat Yang Maha Sempurna dalam membalas amalan hamba-Nya dan menumbuhkembangkan amalan para hamba meskipun amalan tersebut sedikit, lalu Dia melipatgandakan pahala bagi mereka.
Walaupun ada kesamaan dari segi lafazh nama antara sifat hamba dengan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala , akan tetapi hakikat makna dari masing-masing nama tersebut sangat jauh berbeda, sebagaimana perbedaan antara Allah itu sendiri dengan makhluk-Nya. Kesamaan disini hanya dalam bentuk nama atau lafazh kata saja, dan tidak dalam segi makna secara keseluruhan. Sebagaimana terdapat dalam sifat-sifat yang lainnya ada kesamaan dalam bentuk lafazh nama, namun tidak sama dalam segi hakikat makna secara keseluruhan.
Sebagaimana Allah bersifat hidup (al-Hayyu), maka demikian pula makhluk juga bersifat hidup, tetapi hidup Allah tidak sama dengan hidup makhluk. Hidup Allah tidak membutuhkan makan dan minum. Adapun sifat hidup makhluk membutuhkan makan dan minum serta memiliki berbagai kekurangan, seperti sakit, capek, letih, haus, lapar dan seterusnya. Hidup Allah Azza wa Jalla tidak diawali dengan ketiadaan (‘adam), dan tidak pula diakhiri dengan kematian (al-fanâ`). Adapun hidup makhluk, ia diawali dengan ketiadaan dan diakhiri oleh kematian. Sebagaimana terdapat dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ أَعُوذُ بِعِزَّتِكَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الَّذِي لَا يَمُوتُ وَالْجِنُّ وَالْإِنْسُ يَمُوتُونَ (متفق عليه).
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamberdoa: “Aku berlindung dengan keperkasaan Engkau yang tiada berhak disembah kecuali Engkau, Dzat yang tidak akan pernah mati. Sedangkan jin dan manusia akan mati. [HR Bukhâri dan Muslim]
Dalam sabda yang lain, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru:
(اللَّهُمَّ أَنْتَ الْأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ وَأَنْتَ الْآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ) رواه مسلم.
Ya, Allah. Engkaulah Yang pertama, tiada sesuatupun sebelum Engkau. Dan Engkaulah yang terakhir, tiada sesuatupun setelah Engkau. [HR Muslim].
Hidup Allah sangat sempurna dari segala segi, adapun hidup makhluk penuh dengan berbagai kekurangan. Allah adalah Dzat Yang Maha Hidup Sempurna, sebagaimana Allah menyebutkan dalam firman-Nya:
اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ
Allah, tidak ada Rabb (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Maha Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak pernah ditimpa rasa ngantuk dan tidak pula tidur. [al-Baqarah/2:255].
Demikianlah, kita mengimani seluruh sifat-sifat Allah. Kita tidak boleh menyerupakan Allah dengan makhluk. Kita juga tidak boleh mengingkari nama dan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla , yang Dia tetapkan untuk diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits beliau, dengan berlandaskan pada perkataan Allah:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
… Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (Allah), dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat. [asy-Syûrâ/42:11].
Dalam ayat di atas ditegaskan, tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah. Sebagian orang memahami ayat tersebut bahwa Allah tidak memilki sifat-sifat lantaran ada kesamaan dalam penamaan dengan sifat-sifat makhluk. Anggapan tersebut bertentangan dengan penggalan akhir dari ayat. Dalam hal ini Allah mengatakan “Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”, sedangkan manusia juga mendengar dan melihat sebagaimana Allah sebutkan dalan firman-Nya:
إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), maka Kami jadikan dia mendengar dan melihat. [al-Insân/76:2].
Dari sini, kita dapat memahami bahwa Allah Azza wa Jalla memilki sifat-sifat sempurna sekalipun sifat-sifat tersebut terdapat pada sebahagian mahkluk, namun maknanya tidak sama dengan makna sifat-sifat Allah. Seandainya yang dimaksud dalam ayat yang lalu menafikan sifat, tentu konteksnya tidak sebagaimana tersebut di atas. Pasti Allah langsung menafikan bahwa Dia tidak memiliki sifat. Jadi, yang dinafikan ialah kesamaan makna sifat, bukan sifatnya; meskipun dalam penamaan sifat tersebut ada kesamaan dengan sifat makhluk.
Hal ini dapat terima oleh akal, fakta dan agama. Sesuatu yang sama dalam penyebutan nama, namun kualitas dan kuantitas bisa berbeda. Dalam kehidupan sehari-hari, sanyat banyak nama yang sama namun berbeda bentuk dan kualitasnya.
Sebagai contoh, manusia memiliki sifat melihat, kucing pun memiliki sifat melihat. Tetapi penglihatan manusia dengan penglihatan kucing tidak sama. Manusia tidak bisa melihat pada waktu malam tanpa cahaya. Adapun kucing bisa berjalan pada malam hari meskipun tanpa cahaya.
Jika sifat sesama makhluk saja tidak sama dalam hakikat kualitas makna, meskipun sama dalam segi penamaan, yaitu penglihatan. Maka kepastian perbedaan antara sifat Allah Yang Maha Sempurna dengan sifat makhluk, tentu jauh lebih pasti, meskipun sama dari segi lafazh nama.
Yang membedakan makna adalah, kemana sifat tersebut disandarkan, maka sifat tersebut memiliki makna dan bentuk sesuai dengat dzat tempat disandarkannya (digabungkan). Sehingga jangan dipahami, ketika menyebut tetang sifat Allah digambarkan seperti sifat makhluk. Sebagaimana kita tidak memahami tentang telinga gajah seperti telinga kodok atau telinga manusia, meskipun sama-sama disebut telinga.
Sifat-sifat akan berbeda sesuai dengan dzat masing-masing sifat tersebut. Bahkan pada dzat yang sama, ternyata sifat yang dimilikinya bisa berbeda. Seperti sifat pendengaran manusian, tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Ada yang dapat mendengar dengan jarak cukup jauh, dan sebaliknya ada yang tidak bisa mendengar kecuali dengan alat bantu. Namanyapun tetap disebut pendengaran. Bahkan sifat bisa berubah-rubah kualitas dan frekuwensinya pada satu dzat. Misalnya, pendengaran seseorang ketika berumur lima tahun, tidak sama ketika ia telah berumur lima puluh tahun.
Demikian halnya dalam mengimani segala sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al-Qur`ân dan hadits-hadits yang shahîh. Allah Azza wa Jalla memiliki sifat-sifat yang sempurna sesuai dengan keagungan dan kebesaran Allah itu sendiri tidak seperti sifat-sifat makhluk.
Setelah memahami adanya perbedaan antara sifat yang disandarkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat yang disandarkan kepada makhluk meskipun ada kesamaan dalam segi lafazh penamaannya, maka berikut ini adalah penjelasan makna nama Allah “asy-Syakûr” yang menjadi topik bahasan kali ini.
PENJABARAN MAKNA NAMA ALLAH “ASY-SYAKÛR
Jika kita memperhatikan konteks ayat-ayat yang menyebutkan tentang nama Allah “asy-Syakûr”, penyebutannya selalu berada setelah menyebutkan tentang anjuran untuk melakukan amal-amal shalih dan balasannya. Oleh karena itu, nama tersebut sangat erat hubungannya dengan amal shalih dan balasannya.
Untuk lebih jelasnya, kita simak ayat-ayat tersebut pada berikut ini.
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ ۚ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka dalam bentuk tersembunyi dan terang-terangan, mereka mengharapkan perniagaan yang tidak akan pernah merugi. Allah akan menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. [Fâthir35/:29-30].
Dalam ayat di atas, nama Allah “Asy-Syakûr” disebutkan setelah menyebutkan tentang balasan bagi orang-orang yang beramal shalih, seperti membaca Al-Qur`ân, mendirikan shalat dan berinfaq; baik dalam keadaan tersembunyai maupun secara terang-terangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada mereka balasan yang sempurna. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala menambah karunia-Nya kepada mereka sebagai tambahan atas pahala amalan mereka tersebut. Lalu ayat yang mulia tersebut ditutup dengan nama Allah “asy-Syakûr”. Dari sini, dapat kita pahami bahwa balasan yang diberikan kepada mereka merupakan aplikasi dan pembuktian tentang makna dari nama Allah “asy-Syakûr” (Maha Sempurna dalam membalas budi).
Bentuk-bentuk dari kesempurnaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam membalas amal shalih yang dikerjakan hamba tergambar dalam berbagai bentuk.
• Di antara makna “asy-Syakûr”, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima amalan sedikit yang dikerjakan oleh hamba-Nya dan tidak menyia-nyiakannya walau sekecil apapun.
Sebagai bukti bahwa Allah Maha Sempurna dalam membalas amalan hamba-Nya, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak pernah menyiakan-nyiakan amalan hamba-Nya, walau sekecil apapun amalan tersebut. Sebagaimana Allah menyebutkan dalam firman-Nya:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ ۖ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allah tidak menzhalimi (seseorang) walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada satu kebajikan, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. [an-Nisâ`/4:40].
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ
… Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan. [Ali ‘Imran/3:195].
Dan masih banyak ayat lain yang senada dengan kandungan ayat-ayat di atas.[5] Oleh sebab itu, kita jangan merasa malu untuk melakukan amal-amal shalih meski hanya sedikit menurut pandangan manusia. Demikian pula, tidak boleh meremehkan amalan seseorang walau sedikit, karena di sisi Allah tetap memiliki nilai sebagai amal shalih yang mungkin pahalanya bisa berlipat ganda. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ لِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِقٍ رواه مسلم.
Berkata Abu Dzar Radhiyallahu anhu : berkata kepadaku Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah engkau meremehkan sedikitpun dari kebaikan, sekalipun ketika engkau berjumpa saudarmu dengan wajah berseri”. HR Muslim]
Dalam sabda yang lain beliau n menyatakan pula:
عَنْ عَدِي بْنِ حَاتِمٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ شِقَّ تَمْرَةٍ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ رواه البخاري ومسلم.
Dari ‘Adi bin Hatim Radhiyallahu anhu , ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Takutlah kamu dengan api neraka walau (bersedekah) dengan sebelah buah kurma. Jika kamu tidak mendapati sebelah buah kurma, maka dengan perkataan yang baik”. [HR Bukhâri dan Muslim].
Sekecil apapun kebaikan yang kita lakukan, Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti akan memperlihatkan balasan-Nya kepada kita, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ
Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. [al-Zalzalah/99:7].
Bersambung in Syaa Allah...
Baca juga penjelasan makna Asy-Syakuur Bagian 2 dan Asy-Syakuur Bagian 3
Oleh :
Ustadz DR Ali Musri Semjan Putra
Ustadz DR Ali Musri Semjan Putra